Selasa, 29 Juni 2010

EKSISTENSI MANUSIA DALAM ILMU PENDIDIKAN

Jika Seni merupakan perwujudan nilai-nilai yang berkaitan dengan jiwa , maka ilmu lebih bergelut dengan fakta-fakta dan berurusan dengan akal yang mengarahkan dan membelokkan jiwa kepada hakikat benda. Ciri khas ilmu pengetahuan adalah mencari hubungan gejala-gejala yang faktawi. Ia tidak puas menyatakan benar sesuatu itu apa; begini dan begitu. Ia ingin tahu apa sebab¬nya sesuatu itu ada. Pengetahuan ilmiah mencoba menginte¬grasikan yang terpotong-potong dalam pengetahuan pra ilmiah pada kesatuan. Dalam mencapai pengertian ilmu pengetahuan maju secara sistematis. Ia tidak bersifat menunggu saja seolah-olah pada waktunya dan dalam situasi tertentu terang pengetahuan akan menyingsing dengan sendirinya.
Ilmu penge¬tahuan harus mengusahakan pengertian melalui penyelidikan. Ilmuwan tidak akan menerima sesuatu apapun sebagai fakta dan kebenaran kalau sebabnya atau sumbernya tidak diketahui dan dipertanggungjawabkan. Dengan demikian bahaya kekeliruan atau ketidakbenaran dapat agak dikurangi. Ilmuwan bersikap kritis. Sekalipun demikian ia tidak kebal terhadap kekeli¬ruan dan kesesatan. Hanya dapat dikatakan bahwa pengetahuan¬nya jauh lebih kokoh dan lebih dapat diandalkan.
Ketidaktahuan manusia untuk sebagian besar dilengkapi oleh ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan masih juga mempunyai kekurangan dan keterbatasan, dan karena itu tidak juga memuaskan. Cara ilmu berkiprah metodiknya tidak memungkinkan untuk meneropongi serentak seluruh realitas dalam totalitas¬nya.
Walaupun ilmu pengetahuan mencari pengertian dengan menerobos realitas sendiri, pengertian ini hanya dicari pada tataran empiris dan eksperimental. Maksudnya, ilmu pengeta¬huan membatasi kegiatannya hanya pada fenomen-fenomen yang - entah langsung atau tidak - dapat dicerap oleh indera. Tambahan pula, ilmu pengetahuan hanya meneliti dan mempela¬jari salah satu sektor tertentu dari seluruh realitas. Cara kerjanya (terpaksa) fragmentaris atau terbagi-bagi. Fragmen¬tarisme ini mudah menyebabkan bahwa orang tidak lagi melihat keseluruhan atau totalitas, dan perkaitan antara dia dengan realitas. Muncul bahaya sikap berat sebelah Orang hanya tahu lorongnya sendiri.
Dunianya kecil sekali. Padahal tiap-tiap orang sebetulnya menginginkan dan menghasratkan di dalam hatinya kesatuan dan sintesa. Dengan kata lain ilmu pengetahuan tidak menerobos sampai ke inti obyeknya yang sama sekali tersembunyi dari observasi. Ia tidak menjawab perihal kausalitas yang paling dalam. Jika kita mempelajari ilmu, akan masih tertinggal beraneka ragam pertanyaan yang bersifat mendasar, namun tidak termasuk ke dalam tataran empiris dan eksperimental. Kita “tahu” atau sekurang-kurang¬nya merasakan adanya lapisan lebih dalam yang dapat digali. Kita belum mencapai pengertian fundamental.
Adakalanya kita mendengar orang mengatakan bahwa cara bernalar dan mencari fakta oleh ilmu pengetahuan lebih banyak bersifat sentrifugal, artinya menjauh dari manusia itu sendiri beserta persoalan-persoalan pribadinya, daripada sentripetal, artinya memusat atau mendekati manusia konkret atau “sang aku”. Persoalan-persoalan ilmu pengetahuan terla¬lu umum dan tidak mengena pada diri pribadi orang, dan karena itu tidak mempunyai cukup kedalaman. Orang individual tidak dihampirinya sebagai seorang “aku” melainkan sebagai “dia” atau “manusia” saja Karl Jasper menyebutkan bahwa iIlmu pengetahuan adalah pengetahuan fakta dan bukan pengetahuan realitas yang asli, yang menghasilkan suatu ikhtisar dan pandangan yang menyeluruh dan meliputi keseluruhan realitas pada dirinya. Padahal keseluruhan itu menjadi ruang hayat manusia.
Ilmu tidak menyediakan cita-cita yang menggiurkan hati, tidak memberikan kaidah-kaidah mutlak dan bersifat mengikat demi tercapainya tujuan kehidupan yang ingin dica¬pai seseorang oleh dirinyanya pribadi, dan akhirnya mungkin menjauhkan dirinya dari masalah makna segala-galanya, yang justru lebih dipentingkan orang. Sebab, setiap kali manusia belajar atau menemukan sesuatu, ia ingin mencari lebih jauh lagi dan bertanya-tanya terus sampai saat ia mendapatkan jawaban mengenai “sebab terakhir”, yang menyingkapkan adanya semua yang ada dan sekaligus menampakkan bobot sebenarnya dari semua yang ada.
Pendidikan bagi manusia dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat manusia mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu mengembangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonomi, dan teknologi secara bebas, seimbang, dan berkesinambungan.
Dalam hal ini, terlihat adanya tekanan rangkap bagi perwujudan yang ingin dikembangkan dalam aktivitas kegiatan di lapangan. Pertama untuk mewujudkan pencapaian perkembangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dari setiap individu yang bersangkutan. Tambahan pula, bahwa pendidikan seorang manusia mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan oleh manusia, baik pria maupun wanita, sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuannya masing-masing.
Dengan demikian hal itu dapat berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran seorang manusia yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar bersama dengan penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil dari adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi perubahan kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan perilaku terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubahan sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan seorang manusia tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dibekali juga dengan rasa percaya yang kuat dalam pribadinya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif berupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan berkesinambungan. Perubahan perilaku bagi seorang manusia terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disebabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi seorang manusia pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih ke arah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih masih diperlukannya sebagai penyempurnaan hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kalau mau komentar,,,
jangan lupa id/imel nya..
TQ